Hari
Pahlawan tahun ini kembali diperingati dengan renungan suci mahasiswa
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Renungan suci sekaligus malam
refleksi tersebut berlangsung di kawasan Tugu Pahlawan, Sabtu (9/11).
Bambang J. Pramono atau biasa disebut Cak Gembos, salah satu pengisi
acara, menuturkan bahwa aktivitas renungan dan refleksi ini dimulai pada
tahun 1993. Hari Pahlawan menjadi momen penting bagi mahasiswa ITS kala
itu untuk menyatakan perlawanan terhadap pemerintah. “Lebih dari 4.000
mahasiswa ITS ikut (renungan suci) saat itu. Namun, saya cukup terharu
tradisi ini masih dijaga dan ada 400-an mahasiswa yang bisa hadir malam
ini.”
Dalam
kesempatan yang sama, Bambang mengungkapkan bahwa tujuan gerakan
mahasiswa harus sejalan dengan cita-cita rakyat sehingga gerakan
mahasiswa bisa sinergis dengan rakyat. “Dahulu pernah saat kami
demonstrasi di perempatan Kampus A Unair, ABRI datang dan segera berlari
menangkap kami. Tetapi kami menghindar ke pemukiman dan disembunyikan
rakyat,” begitulah gambaran yang Bambang berikan tentang sinergitas.
Hadir
pula dalam renungan suci, mantan Rektor ITS, Prof. Soegiono. Pria yang
pernah mendampingi langsung mahasiswa ITS saat demonstrasi 1998 ini
mengingatkan bahwa perguruan tinggi harus menjadi kekuatan moral untuk
mengawal bangsa. Alumni perguruan tinggi dan semua entitas di perguruan
tinggi harus berpikir bebas berdasarkan moralitas dan ilmu pengetahuan,
bukan menjadi ABS (asal Bapak senang) atau Yes Man. “Perguruan tinggi harus independen dan otonom!” tegas Soegiono.
Tidak
hanya diisi orasi dari para mantan aktivis pergerakan mahasiswa, acara
ini juga diisi dengan pentas kesenian yang kental nuansa kebangsaan.
Tiga buah lagu dipersembahkan oleh punggawa Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Musik: Indonesia Pusaka, Surabaya Oh… Surabaya, dan Bendera.
Performansi apik dari UKM Musik menambah gairah para mahasiswa di malam
itu.
Tidak
ketinggalan, ditampilkan pula pembacaan puisi oleh Ketua Dewan Kesenian
Jawa Timur, Desemba. Alumni ITS yang berkarier di luar bidang
keteknikan ini membawakan “Indonesia Salah Arah” yang menggambarkan
kondisi Indonesia yang berada di jalur yang salah dalam melaksanakan
kemerdekaan. Dalam puisi tersebut digambarkan jalan kemerdekaan adalah
sebuah Jembatan Emas yang menghubungkan pangkal kemedekaan di tahun 1945
dan ujung yang berupa tujuan Indonesia Merdeka. Sayangnya, jembatan
emas itu kini hitam legam karena berbagai kesalahan yang bangsa ini
perbuat. Namun, puisi tersebut kemudian disusul dengan “Indonesia,
Kubalut Lukamu” yang menandakan masih ada harapan dan mimpi besar untuk
mencapai Indonesia yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan.
Sumber: http://regional.kompasiana.com/2013/11/12/renungan-suci-mahasiswa-sepuluh-nopember-di-malam-10-november-607377.html
0 komentar:
Posting Komentar